Selamat Bergabung

Kadang-kadang usilnya nggak ketulungan..tapi kadang-kadang,jahilnya kebangetan.Penuh canda tawa,suka duka dan kebersamaan diantara mereka selama 3 tahun ini.Dibumbui kisah persahabatan dan juga percikan asmara.Bagaimana jadinya?

Banner this blog

Rabu, 21 November 2012

WARNA-WARNI KISAH PUTIH ABU-ABUKU JILID 47 : MURID RAJIN DAN MURID PEMALAS

Ketiga anak Bengal itu langsung menatap gw dengan pandangan berbeda. Seolah-olah gw naik kuda di tengah padang pasir dan lantas meninggalkan mereka bertiga.
“Wah curang lu Bob. Bukannya nonton bola, tapi malah belajar.” Serang Kevin dengan perkataannya.
“Ga dapet bro siarannya, gw pake parabola, dan diacak siarannya. Ngeselin tuh.” Ujar gw memandang ke arah lain, menolak memandangi mereka bertiga.
“Ya udah kalau gitu, nanti pas di kelas lu pokoknya wajib dan kudu ngasih contekan ke kita-kita.”
“Kalau itu gampang deh bro, asalkan yang ngawas bukan Bu Erma atau Bu Hastin aja. Kalau udah mereka, nggak bakalan bisa ngasih tau lu pada. Lu betiga tau sendiri kan gimana cara mereka ngawasin ujian kita. Tatapannya tuh, setajem elang.”
‘Teng … Teng … Teng..’
Bel tanda masuk ujian sudah berbunyi dengan kencang. Biasanya pake lonceng elektronik, tapi kali ini mungkin lagi mati lampu, makanya pake lonceng biasa.
Suasana di dalem kelas masih ramai sekali. Ada beberapa temen gw yang masih asyik ngafalin teori berdasarkan catatan dan lks yang mereka dapat. Ada juga yang sibuk nulis catatan di tangan atau meja ujian mereka dengan tulisan yang amat kecil. Mungkin hanya Tuhan dan mereka yang hanya bisa baca tuh tulisan. Hihihi.
Beberapa yang lainnya, terlihat masih asyik ngobrol tanpa ngeliat bahan untuk ujian. Sementara gw sendiri kayaknya asyik mandangin yang lain, lagi ngapain, kurang kerjaan banget yah gw.
Nggak lama, suasana yang tadinya rame mendadak jadi sunyi senyap. Langkah kaki pengawas ujian kali ini terdengar jelas menuju ke kelas gw. Samar-sama dari kaca kelas terlihat sebuah sosok perempuan berjilbab sambil membawa kertas ujian.
Tak diragukan lagi dan tak bisa disangkal lagi, sosok itu adalah Ibu Erma. Gw menatap iba ke arah tiga penjuru, dimana Kevin, Irwan dan Martin berada. Mereka membalas tatapan gw dengan pandangan memelas supaya tetap memberikan jawaban. Tapi tubuh gw seolah menolak hal itu, dengan segera mungkin, pandangan gw hanya lurus ke depan.
“Maaf teman. Gw tidak bisa melakukan yang kalian inginkan. Situasi yang tidak mengijinkanku untuk melakukan itu. Lakukan sebisa yang kalian lakukan.” Hati kecil gw membatin dengan teramat lebaynya.
Semua murid di kelas gw langsung terdiam lemas. Mereka semua tentu udha tahu riwayat Bu Erma dalam mengawasi ujian. Bergerak sedikit saja sudah membuat pandangan Bu Erma tertuju pada kami.
Tiba-tiba suasana kelas mendadak menjadi bergemuruh ramai. Ternyata Bu Erma mengawasi kelas 1 AK 2 yang berada di samping kelas kami, 1 AK 1. Terlihat lagi kegembiraan meliputi 3 temen gw itu. Seolah ada secercah harapan baru membejanai harapan mereka. Aseekkk… Membejanai neh. Sok-sok puitis dikit nggak apa-apa kali yah.
Secepat kilat pengawas kelas kami akhirnya masuk juga ke kelas, tepat setelah Bu Erma masuk ke kelas sebelah. Dan lu tau siapa pengawas gw itu? Dia adalah BU HASTIN. BU HASTINNNN!!!! Sengaja gw beri banyak tanda seru buat bikin efek dramatis.
Emang siapa Bu Hastin? Bu Hastin itu orangnya ceplas ceplos dan lumayan loyal dalam hal nilai. Nilai matpel Ekonomi gw aja dikasih 100 dalam beberapa kali ulangan harian. Tapi kalau dalam soal disiplin pengisisan ujian, ibu-ibu yang satu ini ketat banget. Beliau ini layaknya penegak keadilan, di mana ia nggak akan membiarkan ketidakadilan terjadi. Yang artinya, dia nggak mau, murid-muridnya yang udah belajar mempunyai nilai yang sama dengan murid yang tidak belajar (dengan nyontek).
Bu Hastin juga pernah bilang kalau sebenernya nggak ada murid yang pinter sama yang bodoh. Yang ada hanya murid yang rajin dan murid yang malas. Gw sangat setuju dengan pernyataan yang satu ini.
Seolah diberi harapan setinggi langit lalu mendadak dijatuhkan dari ketinggian paling puncak. Mungkin itulah yang dirasakan 3 temen gw itu.
“Kalian harus memulai segalanya dengan doa temen-temenku.” Hati kecil gw mulai membatin lagi dengan dahsyat.
Soal dalam ujiannya bukanlah soal pilihan ganda yang bisa dijawab dnegan cap cip cup kembang kuncup. Ini ESSAY bro! ESSAY..
Kalau essay itu mesti ngarang indah apaan. Apalagi soalnya banyak berkaitan dengan pegunungan. Pegunungan di sini dalam artian yang sebenarnya loh. Jangan berpikir yang bukan-bukan mentang-mentang ini pelajaran IPA.
Saat ngerjain soal, beberapa kali timpukan kertas melayang menyentuh badan gw dan lantas terjatuh ke lantai. Gw udah tau kode-kode seperti ini. Gw pasti diminta ngisiin jawaban gw di kerta yang mereka lemparin ke gw itu.
Karena jiwa pahlawan kesiangan gw masih membati dalam jiwa gw, akhirnya gw coba bantuin isiin 2 nomor awal ke mereka. Lama sekali gw pendam kertas itu di tangan sambil melihat situasi. Setengah jam berlalu, kertas itu masih menempel erat di tangan kiri gw. Gw seolah nggak berani bergerak. Tiap kali melihat kea rah Bu Hastin, kali itu pula ia langsung melihat kea rah gw. Guru gw yang satu ini seolah punya radar kecurangan di kelas.
Ibu Hastin tiba-tiba saja beranjak dari kursi pengawasnya itu dan lantas berdiri di tengah kelas.
“Memberitahu jawaban pada teman kalian bukanlah tindakan membantu teman kalian. Tindakan ini justru akan menyesatkan teman kalian untuk bergantung terus pada contekan. Harusnya kalian semua bisa mengandalkan diri sendiri. Ibu yakin sekali, pada dasarnya kalian semua pintar. Yang membedakan kalian hanyalah tingkat kerajinan dan kemalasan kalian. Jadi untuk kalian yang punya niatan membantu teman kalian dalam ujian ini, ada baiknya kalian urungkan saja.”
Setelah berkhotbah yang menyentuh sanbubari terdalam gw, gw akhirnya urungkan niatan itu. Gw jadi tersadarkan akan kata-kata Bu Hastin. Sekarang aja gw bisa nyelamatin mereka dengan contekan dari gw. Tapi di lain kesempatan, mereka nantinya akan selalu bergantung ama gw. Jadi ada baiknya, mereka belajar untuk berusaha sendiri.”
 Ujian hari ini akhirnya selesai juga. Kekhawatiran gw akan kemarahan mereka akan tindakan gw yang nggak negbantu mereka dalam ujian tadi ternyata nggak terjadi. Begitu keluar, mereka santai saja dan tak membahas tentang ujian itu lagi.
Yang gw salut justru mereka berpikir untuk bisa belajar pada ujian Matematika besok pagi. Tapi sebagai gantinya, gw yang harus ngajarin mereka dari awal hingga akhir.
Melihat perubahan positif mereka, gw akhirnya menyetujui permintaan mereka. Lagipula, itu juga untuk demi kebaikan mereka.

0 komentar:

Posting Komentar